Kamis, 14 Februari 2013
Selasa, 12 Februari 2013
kata kata bahasa suku batak
Bahasa Daerah Ditinggalkan Masyarakatnya (?)
HL | 20 January 2013 | 14:58 Dibaca: 622 Komentar: 0 8 bermanfaat
Membaca judul
diatas, mungkin diantara sahabat akan ada yang bertanya, “kok bahas ini?
ahli bahasa atau pengamat bahasa ya?”. Tidak, saya sama sekali bukan
seorang pakar atau ahli bahasa, juga bukan pengamat bahasa. Wow..tinggi
sekali buat saya, hehehe… sama sekali tidak. Bahkan spesifikasi ilmu
yang saya geluti juga bukan bahasa. Ide tulisan ini hadir, berawal dari
munculnya beberapa pertanyaan yang berseliweran di pikiran saya dari apa
yang saya lihat, dengar, rasakan ataupun baca dan kemudian menggelitik
saya untuk menuangkannya di artikel ini. Karena meski bukan orang
bahasa, tapi setiap kita, hampir dari seluruh waktu kita, selalu
bersentuhan dengan bahasa, melibatkan bahasa sebagai alat komunikasi
baik secara lisan ataupun lewat tulisan.
Mungkin, bisa jadi
hanya saya sendiri atau sebagian kecil orang yang mengalaminya. Tapi
entah mengapa saya kok merasa yakin, jika ini banyak dialami dan
dirasakan oleh banyak orang. Dan jika nantinya banyak kesalahan mohon
maaf dan mudah-mudahan rekan-rekan berkenan untuk meluruskannya.
Kita awali dengan cerita…
Di ruang tunggu sebuah
rumah sakit beberapa waktu yang lalu saya bertemu dan sempat berbincang
lumayan lama dengan seorang bapak. Ketika itu saya sedang menunggu
saudara saya yang menjalani tindakan oleh dokter dan beliau menunggui
istrinya. Dari perwajahan dan logatnya saya menyimpulkan kalau bapak
tersebut adalah seseorang yang bersuku batak. Dan kemudian masing-masing
kami mengetahui kalau kami dari suku yang sama, yaitu batak toba,
hanya saja beda marga. Si bapak mengatakan bahwa ia kecewa melihat
anak-anak muda sekarang yang notabene adalah bersuku batak tetapi tidak
menggunakan bahasa daerahnya, bahasa batak sebagai alat komunikasi,
sekalipun dengan sesama suku batak. “Sok tidak mengerti dan tidak tahu
bahasa daerahnya”. Saya jadi merasa tertuduh ketika itu, walaupun memang
ada benarnya yang dikatakan si bapak, meski tidak sepenuhnya. Saya pun
melakukan pembelaan, “bukannya sombong pak tidak mau menggunakan bahasa
daerah sendiri, tapi jujur meski saya bersuku batak toba tapi saya tidak
paham dan tidak bisa berbahasa dengan bahasa batak toba, hanya beberapa
kosa kata yang saya tahu dan mengerti. Karena di daerah tinggal saya,
tidak menggunakan bahasa itu tapi bahasa batak setempat, bahasa batak
angkola dan bahasa batak mandailing. Kalau itu saya bisa dan paham pak.
Bahasa batak toba dan bahasa batak mandailing, angkola kan beda jauh
pak” cerita singkatnya (jangan-jangan kepanjangan ya? Hehe, maaf yo)
Saya masih lebih
beruntung dibandingkan dengan seseorang yang saya kenal, walaupun hanya
sedikit. Ia mengaku, tidak bisa sama sekali menggunakan bahasa batak,
bahasa batak mana pun juga. Hanya bisa mengucapkan dan mengerti beberapa
kosa kata saja. Bahkan, jika dulu di sekolah dasar saya masih sempat
mendapat mata pelajaran bahasa daerah dan sampai sekarang masih ingat
beberapa huruf dari aksara (lebih popular disebut surat) batak, tapi dia
tidak pernah mendapatkan mata pelajaran itu dan tidak pernah tahu dan
tidak mengenal huruf surat batak. Padahal dia seseorang yang bersuku
batak dan tinggalnya masih di provinsinya orang batak. Apakah sobat
kompasianer juga ada yang belum berkenalan dengan aksara bahasa
daerahnya? Hehehe…mudah-mudahan saja tidak.
Cerita lainnya, saya
pernah bertemu seseorang yang bersuku Minang. Untuk menghormati beliau
saya memanggilnya “uni” sebagaimana bahasa daerahnya. Tapi anehnya, ia
justru menolak, “meski saya orang minang, saya lebih suka dipanggil mbak
daripada uni” ujarnya membuat saya terpelongo.
Seorang ibu bersuku
Jawa, “saya lahir di sumatra nak, bahasa seharihari dirumah bukan bahsa
jawa, ibu bisa bahasa jawa, tapi cukup banyak juga kosa kata yang ibu
tidak tahu”.
***
Bahasa daerah adalah
bahasa ibu dan bahasa Indonesia adalah bahasa nasional, bahasa resmi
bangsa Indonesia. Adapun bahasa selain bahasa daerah dan bahasa
Indonesia adalah bahasa asing. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2009, bahasa daerah didefinisikan sebagai bahasa yang
digunakan secara turun-temurun oleh warga Negara Indonesia di
daerah-daerah di wilayah NKRI.
Bahasa daerah
merupakan lambang kebanggaan daerah yang menjadi identitas bagi daerah
tersebut yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakatnya.
Bahasa daerah adalah milik daerah yang kemudian memperkaya khasanah
budaya bangsa. Dalam salah satu sumber dikatakan bahwa Indonesia
memiliki sekitar 746 bahasa daerah. Kekayaan yang besar bukan? Tapi
kekayaan itu bukan tidak mungkin akan semakin berkurang dan semakin
sedikit, jika tidak ada upaya serius yang dilakukan untuk menjaga
kelestariannya.
Salah satu media on line memuat berita bahwa dari
ratusan ragam bahasa daerah yang ada di Tanah Air, 139 di antaranya
terancam punah. Bahkan, Kepala Balai Bahasa Pusat Kemendikbud Dr.
Sugiyono, pada 11/10/2012 silam mengatakan, tercatat 15 bahasa daerah
telah punah, yaitu 11 bahasa daerah di Maluku, dan masing-masing satu di
Sumatera, Sulawesi, Papua Barat dan Kepulauan Halmahera.
Kemungkinan itu bukan
tanpa dasar. Cerita diatas hanyalah sedikit contoh. Tidak hanya yang
bersuku batak dengan bahasa batak, suku minang dengan bahsa minangnya,
suku jawa dengan bahasa jawa, tapi tidak menutup kemungkinan suku
lainnya dengan bahasa daerahnya. Itu sekarang, generasi kini, bagaimana
lagi dengan generasi esok, generasi 5 tahun, 10 tahun ke depan dan
seterusnya?
Generasi hari ini
adalah hasil generasi sebelumnya. Ada andil orang-orang generasi sebelum
terhadap apa yang ada sekarang. Misalnya, kecenderungan meninggalkan
kampung halaman merantau ke daerah lain dan kemudian berkeluarga,
mempunyai keturunan dan menetap di tempat tersebut yang kemungkinan
punya bahasa sendiri. Di rumah dengan anggota keluarga menggunakan
bahasa setempat, bukan bahasa daerahnya. Dan kemudian diperparah dengan
orangtua yang secara tidak sadar abai akan pentingnya untuk mengenalkan
anak-anak akan bahasa daerahnya, bahasa ibunya. “Ah, masih di Indonesia
kok” atau “Nanti setelah besar dengan sendirinya anak akan bisa bahasa
ibunya”. Itu akan terjadi hanya jika kemudian anak berada di komunitas
orang-orang yang menggunakan bahasa daerahnya, bahasa ibunya. Atau
setidaknya anak pernah bersinggungan dengan orang-orang yang menggunakan
bahasa daerahnya. Jika tidak? Maka seterusnya anak tidak akan tahu dan
tidak akan bisa. Karena pada dasarnya kemampuan berbahasa seseorang akan
bertahan jika dipergunakan dan semakin membaik sesuai dengan intensitas
aplikatifnya.
Selain itu, mencabut
bahasa daerah dari daftar mata pelajaran di sekolah juga dapat
memperbesar peluang hilangnya bahasa daerah. Kalau bahasa asing punya
tempat dalam kurikulum, mengapa bahasa daerah sendiri tidak? Saya
mendukung anak Indonesia diberi kesempatan untuk mempelajari bahasa
asing, karena bagaimanapun itu penting dan besar manfaatnya. Interaksi
kita tidak terbatas dengan orang sesuku saja atau sebangsa dan senegara
saja. Tapi alangkah lebih eloknya jika bahasa sendiri tidak
dianaktirikan di tanahnya sendiri. Kalau alasannya “mereka kan bisa
mempelajari sendiri di masyarakat?”. Kalau masyarakatnya ingat, kalau
tidak? Kalau masyarakatnya merasa perlu, kalau tidak? Lho, mengapa bisa
lupa dan merasa tidak perlu. Diakui atau tidak, kita melakukan sesuatu
seringkali mengukur kemanfaatannya bagi diri pribadi secara langsung.
Ya, toh dengan tidak bisa dan tidak paham dengan bahasa daerah sendiri
tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan dan
hidup yang layak. Bukankah kemampuan berbahasa daerah tidak pernah
menjadi modal, tidak pernah menjadi syarat yang harus dipenuhi untuk
bisa diterima bekerja? Tidak seperti halnya bahasa nasional kita dan
bahasa inggris (misalnya). Kalau begitu, bukan soal jika tidak bisa
berbahasa daerah. Atau jika pun tidak mendapat jam pelajaran, setidaknya
ada program yang bisa diikuti siswa atau masyarakat, sehingga mengenal
dan bisa berbahsa dengan bahasa daerahnya.
Faktor lainnya yang
turut memperbesar peluang punahnya bahasa daerah adalah kurangnya minat
generasi muda mempelajari bahasa daerahnya. Bahasa asing jauh lebih
menarik untuk dipelajari ketimbang bahasa daerah. Mana ada coba lembaga
kursus bahasa daerah? Sekarang ini, seseorang akan merasa malu atau
dianggap lebih rendah jika tidak bisa berbahasa asing. Tapi tidak
mengapa dan tidak akan merasa malu jika tidak bisa berbahasa daerahnya.
Mampu berbahasa asing akan dinilai hebat, keren meski tidak bisa
berbahasa daerah. Tapi sebaliknya akan dianggap biasa saja, wajar
(walaupun memang sudah sewajarnya) jika bisa berbahasa daerah. Apakah
ini pertanda bahwa satu saat bahasa daerah tidak akan dianggap
dirumahnya sendiri, menjadi tamu di rumah sendiri? Semoga tidak.
Bahasa daerah adalah
kekayaan budaya bangsa. Bahasa daerah lahir melalui proses yang panjang.
Amat sangat disayangkan jika kelahiran yang menyita waktu yang lama
dan energi yang besar itu, kemudian tidak mendapat perhatian untuk
kelestariannya. Lalu kemudian punah seiring waktu atau diambil orang
lain karena menganggap yang empunya tidak berkenan lagi.
Dan saya? Akan terus
mempelajari bahasa daerah saya, semampu saya. Tinggal tidak di daerah
sendiri, dan masih tahap belajar dari nol ketika usia sudah dewasa
bukanlah mudah. Karena bahasa untuk aplikatif, jika hanya dihapal
lama-lama bisa hilang tak berbekas. Aku cinta tanah lahirku, aku cinta
Indonesiaku berikut gugusan pulau-pulaunya, alamnya, hutannya, airnya,
budayanya, bahasanya.
Tulisan ini hasil kolaborasi melihat, mendengar, merasakan dan membaca berbagai sumber.
Langganan:
Postingan (Atom)